Senin, 1 Oktober 2012
Tidak kurang 365.000 guru pendidikan diniyah yang bernaung di 96.000 lembaga pendidikan diniyah di seluruh Indonesia terabaikan. Ini terjadi karena pemerintah lebih memfokuskan pada pendidikan formal, sehingga pendidikan diniyah yang termasuk pendidikan non formal nyaris tidak terperhatikan.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah Sumitro SPdI mengatakan hal itu kepada Pelita di Jakarta, kemarin. Menurutnya, Undang-Undang No.20 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No.55 yang mengatur pendidikan agama dan keagamaan menyebutkan bahwa pendidikan diniyah menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, daerah dan masyarakat. Namun, kenyataannya 96.000 lembaga pendidikan diniyah, 365.000 guru diniyah (di luar pondok pesantren) dan 4,3 juta siswa diniyah belum terperhatikan.
“Lembaga pendidikan diniyah sejak dulu sudah terpinggirkan. Pemerintah hanya mengurus lembaga pendidikan formal, sementara pendidikan diniyah yang sebenarnya banyak mendidik anak-anak bangsa, sekaligus mendidik karakter siswa ke arah yang lebih baik dan benar, justru tidak diperhatikan, terutama masalah kesejahteraan guru-gurunya,” ucap Sumitro.
Untuk itu, lanjut Sumitro, Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah berupaya menyempurnakan nilai-nilai keagamaan dari berbagai aspek, sekaligus mendorong Pemerintah untuk memperhatikan lembaga pendidikan diniyah, guru-guru dan siswa-siswanya.
Sumitro menjelaskan, Diniyah Takmiliyah ini sebagai lembaga pendidikan agama penyampurna. Lembaga keagamaan ini menampung siswa dan siswi SD, SMP, dan SMA/SMK untuk belajar khusus agama, seperti al-Qur’an, hadits, fiqih, akhlak, sejarah Islam dan lain-lain. Dalam sistem pelajaran dan lama berlajar di diniyah agak sedikit lain. Diniyah ula (awal) kelas I sampai kelas IV. Untuk tingkatan wustho (menengah) hanya kelas I dan II, dan tingkatan ulya (tinggi) kelas I dan II. “Ini diharapkan agar siswa yang sekolah di sekolah umum dapat mengikuti pendidikan agama di diniyah takmiliyah, mengingat pendidikan agama yang diajarkan di sekolah umum sangat minim.”
Menurut Sumitro, akhir-akhir ini banyak terjadi tawuran yang dilakukan para siswa setingkat SMP dan SMA. “Tawuran antar-pelajar ini sudah kelewat batas. Banyak korban berjatuhan. Ada yang luka-luka dan ada yang meninggal. Ini terjadi karena kurangnya pendidikan agama yang mereka serap. Mereka di sekolah mendapat pelajaran agama hanya 2 jam pelajaran per minggu. Sungguh sangat minim. Oleh karena itu, keberadaan Diniyah Takmiliyah sangat diperlukan untuk mendidik karakter para siswa kea rah yang lebih baik dan benar.”
Mengingat hal ini, lanjut Sumitro, sudah selayaknya pemerintah memperhatikan lembaga pendidikan Diniyah Takmiliyah serta guru-gurunya. Selama ini, lembaga pendidikan semisal Diniyah ini dibangun dan dibiayai swadaya masyarakat, belum dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Kementerian Agama memang sudah memperhatikan, tapi hanya sebatas mendata agar Diniyah Takmiliyah itu tidak liar. Namun, kenyataannya di masyarakat, belum ada bantuan khusus baik untuk lembaga pendidikannya maupun guru-gurunya. Keberadaannya di masyarakat pun hanya dilihat sebelah mata bahkan mungkin dinilai tidak ada.”
Meski demikian, kata Sumitro, sudah ada Perda di beberapa Kota dan Kabupaten yang memperhatikan lembaga pendidikan Diniyah ini, walaupun masih minim. “Pemda yang mewajibkan Diniyah adalah Pemprov Lampung; Pemprov Banten, kecuali Kota tangerang belum. Di Medan sedang dibahas, begitu juga kota Tegal. Wali Mandar Sulawesi Barat sudah ada Perda wajib Diniyah. Kayaknya kalau ada bupati yang paham, mengingat payung hukum Diniyah jelas, maka rata-rata tidak keberatan. Kecuali DKI Jakarta enam tahun kami berjuang hingga kini belum ada Perda Wajib Diniyah. Kondisi DKI tahu sendiri. Mungkin nanti dengan adanya gubernur yang baru kita perjuangkan, wajib diniyah, karena tujuannya jelas,” papar Sumitro.
Sumitro menjelaskan, keberadaan DPP Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) berupaya memperjuangkan nasib guru yang selama ini termarjinalkan. Guru yang ikut membangun generasi muda, membangun karakter bangsa ke arah yang lebih baik, tetapi fasilitas yang diberikan pemerintah belum ada.
“Padahal APBN kita sudah mencapai pendidikan 20 persen, tapi Diniyah tidak mendapat apa-apa. Kami akan terus menuntut hak para guru diniyah, seharusnya mereka juga diikutkan berkompetisi mendapat sertifikasi, walaupun hanya pendidikan non formal,” ucapnya. (dik)
Harian Pelita